GERAKAN FEMINISME, MASIHKAH DIPERLUKAN?
(Tulisan ini telah dimuat/dipublikasikan di Radar Kepri Edisi 42 Tahun I)
Permasalahan gender merupakan wacana yang telah banyak dibicarakan dan dibahas oleh banyak pihak terutama kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat yang menangani masalah perempuan (Dulu diistilahkan dengan wanita, tapi dengan adanya wacana gender makna wanita dianggap terlalu dangkal untuk menggambarkan peran wanita yang dianggap penting dan terhormat). Diskursus tentang masalah gender ini dimulai sejak diperkenalkannya konsep feminisme yang notabene merupakan pemikiran yang berasal dari dunia barat. Konsep feminisme ini pada awalnya menyerukan adanya kebebasan (freedom) dan persamaan (equality) antara dua makhluk berbeda jenis yang diciptakan oleh Tuhan yaitu laki-laki dan perempuan.
Bagaimana feminisme dalam makna gender berkembang di dunia dan bagaimana kita menyikapinya sebagai suatu konsep kontekstual yang berkembang di tengah masyarakat. Melalui tulisan ini diharapkan pembaca memahami makna feminisme, ideology yang mendasarinya, perkembangan-perkembangan mutakhir menyangkut makna feminisme, bagaimana kita menyikapi konsep ini serta bagaimana penerapan konsep ini di lingkungan masyarakat Indonesia dengan budaya paternalistik yang dominan.
GERAKAN FEMINISME DAN PERKEMBANGANNYA
Gerakan feminisme dimulai pada abad ke-19 di Amerika Serikat dengan focus gerakan pada satu isyu yaitu untuk mendapatkan hak memilih (The Right to vote). Pada saat itu, kaum perempuan dianggap sebagai warga Negara kelas dua yang disamakan dengan anak di bawah umur yang tidak boleh ikut pemilihan umum.
Pada Tahun 1948, sejumlah wanita berkumpul di Seneca Falls, New York untuk menuntut hak-hak mereka sebagai reaksi terhadap pelarangan pada wanita untuk bicara di depan umum. Pada pertemuan ini ada 4 hal yang menjadi tuntutan para wanita tersebut, yaitu : (1) mengubah Undang-undang perkawinan , yang menjadikan wanita dan hartanya mutlak berada di bawah kekuasaan suaminya, (2) memberi jalan untuk meningkatkan pendidikan wanita, (3) menuntut hak-hak wanita untuk bekerja, dan (4) memberikan hak penuh untuk berpolitik.
Pada tahun 1963, Betty Friedan menerbitkan buku yang berjudul The Feminine Mystique, yang menyebabkan isyu dan gerakan feminisme muncul kembali ke permukaan. Dalam bukunya Friedan mengatakan bahwa peran tradisional wanita sebagai ibu dan subjek yang mengerjakan pekerjaan rumah tangga, adalah faktor penyebab utama wanita tidak dapat mengembangkan kepribadiannya. Selanjutnya dikatakan bahwa wanita tidak selalu harus kawin dan mempunyai anak. Wanita dapat mengembangkan dirinya untuk menjadi apa saja, seperti yang dilakukan oleh kaum pria.
Gerakan feminisme menjadi suatu kejutan besar bagi masyarakat AS, karena gerakan ini memberikan kesadaran baru terutama bagi kaum perempuan, bahwa peran tradisional perempuan ternyata menempatkan perempuan pada posisi yang tidak menguntungkan , yaitu sub ordinasi perempuan. Kondisi ini terus berkembang karena ditunjang oleh keadaan social budaya melalui buadaya materialisme, liberalisme dan invidualisme.
Kalau kita perhatikan ternyata feminisme yang berkembang di AS pada tahun 1960-an adalah usaha untuk menyadarkan kaum perempuan bahwa mereka adalah golongan tertindas. Pekerjaan yang dilakukan perempuan di sector domestik (rumah tangga) dikampanyekan sebagai hal yang tidak produktif. Institusi keluarga dituding sebagai sebagai lembaga “old-age evil”, sehingga gerakan ini berkembang menjadi perempuan untuk dibebaskan dari penjara rumah tangga dan membenci pria. Pria dianggap sebagai sosok figure yang menindas, dan figure yang takut disaingi oleh perempuan. Oleh karena itu ada sekelompok feminisme yang menjadi lesbian dengan mottonya “ heterosexsual is rape”.
Usaha kaum feminisme yang m,engecilkan arti peran domestic perempuan, awalnya realtif berhasil dalam mengubah persepsi sebagian besar masyarakat AS terhadap keluarga konvensional. Ada beberapa faktor yang mendukung keberhasilan ini, yaitu : pertama, berkembangnya budaya materialisme yang mengukur segala bentuk keberhasilan dengan materi. Perempuan yang tidak meghasilkan uang dianggap lebih rendah powernya di dalam keluarga. Kedua, berkembangnya faham individualisme yang menempatkan individu sebagai figure yang lebih penting daripada kelompok. Pekerjaan domestic (rumah tangga) dalam persfektif individualisme dianggap sebagai pekerjaan “pengorbanan”. Ketiga, teori neoclassical economics gagal memasukkan nilai pekerjaan domestik (rumah tangga) ke dalam perhitungan GNP.
Gerakan feminisme yang begitu gencar dilakukan oleh kaum feminis tentu saja juga mendapat banyak tantangan bahkan di Negara liberal seperti halnya AS dimana sesungguhnya ide dan gerakan apa saja bebas berkembang di sana. Golongan yang paling menentang adalah kalangan konservatif ekstrim (ultra-right). Gerakan feminisme dicap sebagai gerakan yang dapat menggoncang kestabilan institusi keluarga, karena gerakan ini dituding sebagai gerakan yang ‘anti-family, anti-children, anti future. Gerakan konservatif yang menentang ini tergabung dalam berbagai organisasi yang disebut ‘New Right Movement’ sepeti The National Right to Life Committee’, Feminine-Anti Feminist League’, The League of Housewife’, dan sebagainya.
Diakui atau tidak, gerakan feminisme telah membawa banyak perubahan. Perempuan telah masuk ke segala sektor yang tadinya dimonopoli oleh kaum pria, tidak hanya di AS tetapi juga di seluruh dunia termasuk Indonesia. Di Indonesia kita lihat perempuan aktif diberbagai sektor kehidupan seperti kesehatan, pendidikan, transportasi, politik, ekonomi, pertahanan dan keamanan dan sebagainya. Namun demikian kita tidak menutup mata bahwa ternyata di Negara asalnya yaitu AS, feminisme ternyata telah menimbulkan krisis identitas terhadap feminisme itu sendiri. Hal ini tidak terlepas dari adanya antagonisme yang terjadi pada pemikiran-pemikiran feminisme, diantaranya yaitu : pertama, adanya tuntutan feminisme terhadap adanya kesejajaran antara pria dan perempuan, dimana sifat kewanitaan menurut feminisme dibentuk karena culture bukan nature sehingga untuk menghilangkan stereotif gender, pendidikan androgini harus diterapkan agar perempuan dan pria memiliki sifat yang sama ( ambisius dan agresif). Padahal kenyataannya perempuan yang aktif di sector public pun ternyata masih mendambakan perkawinan dan mempunyai anak untuk memenuhi kebutuhan alamiahnya. Kedua, adanya faham feminisme yang mendasarkan kebebasan wanita pada konsep individualisme, padahal konsep ini dalam diskursus filosofis telah direkonstruksi karena adalah tidak mungkin manusia itu bebas seratus persen dari lingkungannya. Kenyataan menunjukkan bahwa konsep kebebasan perempuan yang diperjuangkan tidak sesuai dengan sifat kodrati perempuan. Kaum perempuan yang ingin bebas ternyata masih saja mendambakan perlindungan dan komitmen dari pria. Hal ini disebut sebagai “Cinderella complex”, yaitu kaum perempuan yang ingin bebas justru tidak bebas karena merindukan perlindungan dari ‘sang pangeran’. Di lain pihak sang pangeran tidak mau memberikan komitmen lagi kepada para perempuan. Perempuan di mata pria sudah dianggap sebagai super woman. Seharusnya tidak ada lagi kata-kata seperti ‘ladies first’ dan sebagainya karena perempuan telah dianggap mampu melindungi dirinya sendiri.
Ketiga, tentang tuntutan feminisme agar adanya persamaan hak dalam undang-undang ternyata perempuan sendiri banyak menuntut kemudahan dan adanya perbedaan dalam perlakuan antara pria dengan perempuan, seperti adanya tuntutan perempuan untuk mendapat hak atas cuti hamil, menstruasi, atau shift malam dan sebagainya.
KESIMPULAN
Jika kita lihat fakta yang dialami oleh gerakan feminimisme di dunia terutama di Negara asalnya yaitu AS maka dapat disimpulkan bahwa saat ini telah terjadi perubahan arah gerakan femininisme dari gerakan feminisme modern yang sama sekali menghilangkan sifat kodrati perempuan yang terbentuk karena nature-nya menuju ke feminisme post-modern, dimana gerakan feminisme disesuaikan dengan sifat kodrati wanita dan bentukan budaya yang melingkupinya. Jadi perkembangan gerakan feminisme tidak dapat dilepaskan dari culture masyarakat dimana perempuan tersebut berada.
Di Indonesia sendiri termasuk di lingkungan budaya melayu, budaya paternalistic yang melingkupi merupakan faktor yang sangat diperhatikan. Budaya paternalistic menempatkan suami sebagai kepala keluarga/pemimpin di dalam keluarga. Hal ini merupakan landasan yang perlu diperhatikan oleh setiap perempuan dalam segala aktivitasnya baik domestic (rumah tangga) maupun non-domestik (sector public). Dari sudut pandang agama islam pun diakui pula bahwa suami adalah pemimpin bagi keluarganya dan perempuan merupakan kepala rumah tangga.
Hal utama yang perlu diperhatikan oleh kaum feminimisme adalah usaha untuk menyadarkan masyarakat bahwa peran domestic perempuan di dalam rumah tangganya diantaranya peran reproduksi, mengasuh dan mendidik anak-anaknya dalam rangka mencetak tenaga kerja yang berkualitas dan bermoral, perannya sebagai pengatur rumah yang memberikan kesempatan kepada anggota keluarganya untuk bekerja lebih baik, secara tidak langsung telah memberikan kontribusi yang besar pada pembangunan ekonomi. Hal ini yang seharusnya dilakukan agar posisi perempuan tetap mendapat tempat terhormat sekalipun ia tidak berkerja di sector public. Akhirnya, perempuan baik sebagai ibu rumah tangga saja atau pun berperan ganda sebagai ibu rumah tangga sekaligus pekerja professional, mendapat tempat yang sama di masyarakat tergantung bagaimana dia menjalankan perannya tersebut. Semua aktivitas itu akan bernilai kalau aktivitas itu mampu memberikan manfaat kepada siapa pun baik langsung atau pun tidak langsung.
Read more...